Beberapa
waktu belakangan ini kita sering melihat sekumpulan anak muda sedang berkumpul
ditempat yang sama namun asik dengan aktifitas masing-masing. Ya, sekumpulan
anak muda itu asik bermain dengan gadget
nya. Lalu, apalah artinya perkumpulan tersebut apabila mereka tidak
berinteraksi? Pernahkah kita berada dalam situasi tersebut? Saya rasa hampir
semua orang dewasa ini pernah mengalaminya.
Sebagai
pribadi yang tumbuh pada era dimana teknologi belum semaju saat ini, saya
terbiasa berkumpul bersama teman-teman saya untuk berinteraksi, bertukar
informasi, atau sekedar bercanda bersama. Namun rasanya pada era ini anak-anak
muda memaknai acara berkumpul dengan sangat berbeda. Pernah suatu ketika saya
melihat sekumpulan anak muda bertemu, mengobrol sebentar, lalu foto bersama,
kemudian masing-masing meng-upload
foto tersebut ke sosial media masing-masing sembari menghabiskan sekitar satu
jam berikutnya untuk memikirkan caption
untuk posting-an nya tersebut. What’s wrong with you?! Saya sempat
terkaget-kaget saat melihatnya.
Kalau
mau jujur, sebenarnya terkadang saya juga sering “menunduk”, akan tetapi
apabila saya sedang bersama orang-orang terdekat maka saya akan mengutamakan
berinteraksi dengan mereka terlepas dari mereka “menunduk” atau tidak. Yang
lebih parahnya lagi, sebenarnya kita tidak sadar bahwa kita sedang “kecanduan”
dan “sakau” apabila tidak menunduk. Padahal yang kita lihat saat “menunduk”
tidaklah penting-penting “amat”.
Semua
ini sebenarnya bukanlah salah mereka-mereka yang “menunduk”, maupun salah
teknologi yang terus berkembang hingga detik ini. Akan tetapi kemudahan
mengakses informasi kapanpun dan dimanapun melalui gadget membuat kita merasa bahwa hidup kita kudet apabila tertinggal sedikit informasi. Padahal selain
informasi hidup kita juga memiliki banyak hal penting lainnya seperti
bersosialisasi, karena kita tidak tahu kapan saat terakhir kali bertemu dengan
orang terdekat tersebut.
Beberapa
dari kita telah menyadari bahwa hal ini tidak baik, sebagaimana Budi dan
kawan-kawannya mengakali hal ini saat mereka berkumpul, “Saya dan teman-teman
saya suka kesel kalo ada temen yang lagi nongkrong
tapi malah main hp sendiri.” Namun Budi yang masih berkuliah di salah satu
universitas di Jakarta ini memiliki cara sendiri untuk mengatasinya “Jadi saya
dan teman-teman saya kalo lagi nongkrong akhirnya bawa-bawa wadah buat
ngumpulin hp, jadi gak ada yang maenan
hp sendiri-sendiri hahaha.” Ujarnya sambil tertawa.
Budi
dan teman-temannya sedang berkumpul bersama di suatu tempat makan di bilangan
Jakarta Selatan dan membawa tempat untuk mengumpulkan handphone sehingga menarik perhatian saya. Tanpa handphone masing-masing saya lihat Budi
dan kawan-kawannya lebih menikmati kebersamaan mereka. Persahabatan memang
lebih indah saat sedang bersama-sama.
Selain
Budi dan teman-temannya, saya sempat melihat di Instagram sebuah kafe di luar
negeri yang menyadari tentang kurang baiknya generasi menunduk ini. Mereka
memang tidak menyediakan wi-fi agar
orang-orang yang datang dapat berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya.
Berdasarkan
penelitian Dosen Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI), Bapak Eko Aditia
Meinamo, S.Psi,, orang-orang dalam generasi menunduk ini terkena Phantom Vibration Syndrom. Sindrom ini
biasanya ditandai dengan merasa seperti ada getaran dari gadget padahal tidak ada apa-apa. “Orang-orang yang terkena Phantom Vibration Syndrom ini biasanya
sering melihat gadget nya karena
merasa ada getaran dari gadget nya
tersebut.” Ujar dosen muda ini. “Sindrom ini terjadi karena halusinasi sensor
yang masih melekat pada tubuh atau fungsi bawah sadar otak.” Tambahnya.
Sedangkan
menurut survey yang dilakukan terhadap 250 responden oleh University of
Chicago, orang-orang yang telah memiliki ketergantungan akan dunia maya akan
melihat gadget nya sebanyak 100
sampai dengan 200 kali dalam sehari. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal
dari survey tersebut yang mana mereka tidak mempublikasikan berapa jumlah
maksimalnya. Penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa orang-orang yang
terus menunduk ini memiliki tingkat ketergantungan yang parah. Bahkan menurut
penelitian yang sama, kecanduan gadget
ini jauh lebih sulit untuk disembuhkan disbanding alkohol dan rokok. Waduh!
Parahnya
generasi menunduk ini terkadang juga membuat kesal generasi yang lebih tua.
Mereka yang dibesarkan pada era dimana kebersamaan saat bersarapan dan makan
malam bersama untuk menceritakan aktifitas sehari-hari. Memang sarapan dan
makan malam bersama masih ada sampai sekarang, akan tetapi alih-alih menceritakan
aktifitas lagi-lagi gadget menggantikan
obrolan.
Salah
seorang teman saya yang bernama Anisa pernah menceritakan suasana di ruang
makannya. Saat itu ia dan orang tua dan adik-adiknya sudah berada di meja makan
untuk santap makan malam. Semua orang asyik dengan gadget masing-masing. “Ayah saya tiba-tiba menggebrak meja makan,
beliau marah-marah karena kami semua asyik dengan gadget masing-masing.” Ujar
dara cantik asli betawi ini. “Beliau marah-marah karena saat makan malam
seharusnya dipakai untuk berkumpul bersama keluarga, bukan untuk asyik
sendiri-sendiri.”
Sebagaimana Albert
Einstein pernah berkata “I fear the day
that technology will surpass our humanity and human interaction. The world will
have the worst generation, a generation of idiots.” Rasanya hari yang
ditakutkan oleh Einstein telah tiba. Hari dimana kebebasan semu telah
merenggut
kemanusiaan. Kemanusiaan telah tergantikan oleh mesin, hidup manusia juga telah
menjadi jenerik dan kaku seperti mesin. Segala sesuatunya tergantung akan teknologi
yang diciptakan seakan untuk menguasai manusia.
Bayangkan saja, jika bagi mereka yang sudah terkena suatu
sindrom gadget tersebut pasti akan rela untuk menghabiskan sebagian besar waktu
yang produktifnya itu dengan menyibukkan diri untuk bermain gadget. Hampir
sebagian besar di setiap aktivitas mereka selalu tidak pernah bisa untuk
terlepas dari gadget mereka. Dari mulai mereka bangun pagi hingga menjelang
tidur malam hari, gadget akan selalu berada didalam genggaman tangan.