Kamis, 10 November 2016

Menunduk, Menunduk, dan Menunduk


Beberapa waktu belakangan ini kita sering melihat sekumpulan anak muda sedang berkumpul ditempat yang sama namun asik dengan aktifitas masing-masing. Ya, sekumpulan anak muda itu asik bermain dengan gadget nya. Lalu, apalah artinya perkumpulan tersebut apabila mereka tidak berinteraksi? Pernahkah kita berada dalam situasi tersebut? Saya rasa hampir semua orang dewasa ini pernah mengalaminya.
Sebagai pribadi yang tumbuh pada era dimana teknologi belum semaju saat ini, saya terbiasa berkumpul bersama teman-teman saya untuk berinteraksi, bertukar informasi, atau sekedar bercanda bersama. Namun rasanya pada era ini anak-anak muda memaknai acara berkumpul dengan sangat berbeda. Pernah suatu ketika saya melihat sekumpulan anak muda bertemu, mengobrol sebentar, lalu foto bersama, kemudian masing-masing meng-upload foto tersebut ke sosial media masing-masing sembari menghabiskan sekitar satu jam berikutnya untuk memikirkan caption untuk posting-an nya tersebut. What’s wrong with you?! Saya sempat terkaget-kaget saat melihatnya.
Kalau mau jujur, sebenarnya terkadang saya juga sering “menunduk”, akan tetapi apabila saya sedang bersama orang-orang terdekat maka saya akan mengutamakan berinteraksi dengan mereka terlepas dari mereka “menunduk” atau tidak. Yang lebih parahnya lagi, sebenarnya kita tidak sadar bahwa kita sedang “kecanduan” dan “sakau” apabila tidak menunduk. Padahal yang kita lihat saat “menunduk” tidaklah penting-penting “amat”.
Semua ini sebenarnya bukanlah salah mereka-mereka yang “menunduk”, maupun salah teknologi yang terus berkembang hingga detik ini. Akan tetapi kemudahan mengakses informasi kapanpun dan dimanapun melalui gadget membuat kita merasa bahwa hidup kita kudet apabila tertinggal sedikit informasi. Padahal selain informasi hidup kita juga memiliki banyak hal penting lainnya seperti bersosialisasi, karena kita tidak tahu kapan saat terakhir kali bertemu dengan orang terdekat tersebut.
Beberapa dari kita telah menyadari bahwa hal ini tidak baik, sebagaimana Budi dan kawan-kawannya mengakali hal ini saat mereka berkumpul, “Saya dan teman-teman saya suka kesel kalo ada temen yang lagi nongkrong tapi malah main hp sendiri.” Namun Budi yang masih berkuliah di salah satu universitas di Jakarta ini memiliki cara sendiri untuk mengatasinya “Jadi saya dan teman-teman saya kalo lagi nongkrong akhirnya bawa-bawa wadah buat ngumpulin hp, jadi gak ada yang maenan hp sendiri-sendiri hahaha.” Ujarnya sambil tertawa.



Budi dan teman-temannya sedang berkumpul bersama di suatu tempat makan di bilangan Jakarta Selatan dan membawa tempat untuk mengumpulkan handphone sehingga menarik perhatian saya. Tanpa handphone masing-masing saya lihat Budi dan kawan-kawannya lebih menikmati kebersamaan mereka. Persahabatan memang lebih indah saat sedang bersama-sama.
Selain Budi dan teman-temannya, saya sempat melihat di Instagram sebuah kafe di luar negeri yang menyadari tentang kurang baiknya generasi menunduk ini. Mereka memang tidak menyediakan wi-fi agar orang-orang yang datang dapat berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya.

Berdasarkan penelitian Dosen Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI), Bapak Eko Aditia Meinamo, S.Psi,, orang-orang dalam generasi menunduk ini terkena Phantom Vibration Syndrom. Sindrom ini biasanya ditandai dengan merasa seperti ada getaran dari gadget padahal tidak ada apa-apa. “Orang-orang yang terkena Phantom Vibration Syndrom ini biasanya sering melihat gadget nya karena merasa ada getaran dari gadget nya tersebut.” Ujar dosen muda ini. “Sindrom ini terjadi karena halusinasi sensor yang masih melekat pada tubuh atau fungsi bawah sadar otak.” Tambahnya.
Sedangkan menurut survey yang dilakukan terhadap 250 responden oleh University of Chicago, orang-orang yang telah memiliki ketergantungan akan dunia maya akan melihat gadget nya sebanyak 100 sampai dengan 200 kali dalam sehari. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal dari survey tersebut yang mana mereka tidak mempublikasikan berapa jumlah maksimalnya. Penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa orang-orang yang terus menunduk ini memiliki tingkat ketergantungan yang parah. Bahkan menurut penelitian yang sama, kecanduan gadget ini jauh lebih sulit untuk disembuhkan disbanding alkohol dan rokok. Waduh!
Parahnya generasi menunduk ini terkadang juga membuat kesal generasi yang lebih tua. Mereka yang dibesarkan pada era dimana kebersamaan saat bersarapan dan makan malam bersama untuk menceritakan aktifitas sehari-hari. Memang sarapan dan makan malam bersama masih ada sampai sekarang, akan tetapi alih-alih menceritakan aktifitas lagi-lagi gadget menggantikan obrolan.
Salah seorang teman saya yang bernama Anisa pernah menceritakan suasana di ruang makannya. Saat itu ia dan orang tua dan adik-adiknya sudah berada di meja makan untuk santap makan malam. Semua orang asyik dengan gadget masing-masing. “Ayah saya tiba-tiba menggebrak meja makan, beliau marah-marah karena kami semua asyik dengan gadget masing-masing.” Ujar dara cantik asli betawi ini. “Beliau marah-marah karena saat makan malam seharusnya dipakai untuk berkumpul bersama keluarga, bukan untuk asyik sendiri-sendiri.”
Sebagaimana Albert Einstein pernah berkata “I fear the day that technology will surpass our humanity and human interaction. The world will have the worst generation, a generation of idiots.” Rasanya hari yang ditakutkan oleh Einstein telah tiba. Hari dimana kebebasan semu telah 
merenggut kemanusiaan. Kemanusiaan telah tergantikan oleh mesin, hidup manusia juga telah menjadi jenerik dan kaku seperti mesin. Segala sesuatunya tergantung akan teknologi yang diciptakan seakan untuk menguasai manusia.
Bayangkan saja, jika bagi mereka yang sudah terkena suatu sindrom gadget tersebut pasti akan rela untuk menghabiskan sebagian besar waktu yang produktifnya itu dengan menyibukkan diri untuk bermain gadget. Hampir sebagian besar di setiap aktivitas mereka selalu tidak pernah bisa untuk terlepas dari gadget mereka. Dari mulai mereka bangun pagi hingga menjelang tidur malam hari, gadget akan selalu berada didalam genggaman tangan.