Kamis, 10 November 2016

Menunduk, Menunduk, dan Menunduk


Beberapa waktu belakangan ini kita sering melihat sekumpulan anak muda sedang berkumpul ditempat yang sama namun asik dengan aktifitas masing-masing. Ya, sekumpulan anak muda itu asik bermain dengan gadget nya. Lalu, apalah artinya perkumpulan tersebut apabila mereka tidak berinteraksi? Pernahkah kita berada dalam situasi tersebut? Saya rasa hampir semua orang dewasa ini pernah mengalaminya.
Sebagai pribadi yang tumbuh pada era dimana teknologi belum semaju saat ini, saya terbiasa berkumpul bersama teman-teman saya untuk berinteraksi, bertukar informasi, atau sekedar bercanda bersama. Namun rasanya pada era ini anak-anak muda memaknai acara berkumpul dengan sangat berbeda. Pernah suatu ketika saya melihat sekumpulan anak muda bertemu, mengobrol sebentar, lalu foto bersama, kemudian masing-masing meng-upload foto tersebut ke sosial media masing-masing sembari menghabiskan sekitar satu jam berikutnya untuk memikirkan caption untuk posting-an nya tersebut. What’s wrong with you?! Saya sempat terkaget-kaget saat melihatnya.
Kalau mau jujur, sebenarnya terkadang saya juga sering “menunduk”, akan tetapi apabila saya sedang bersama orang-orang terdekat maka saya akan mengutamakan berinteraksi dengan mereka terlepas dari mereka “menunduk” atau tidak. Yang lebih parahnya lagi, sebenarnya kita tidak sadar bahwa kita sedang “kecanduan” dan “sakau” apabila tidak menunduk. Padahal yang kita lihat saat “menunduk” tidaklah penting-penting “amat”.
Semua ini sebenarnya bukanlah salah mereka-mereka yang “menunduk”, maupun salah teknologi yang terus berkembang hingga detik ini. Akan tetapi kemudahan mengakses informasi kapanpun dan dimanapun melalui gadget membuat kita merasa bahwa hidup kita kudet apabila tertinggal sedikit informasi. Padahal selain informasi hidup kita juga memiliki banyak hal penting lainnya seperti bersosialisasi, karena kita tidak tahu kapan saat terakhir kali bertemu dengan orang terdekat tersebut.
Beberapa dari kita telah menyadari bahwa hal ini tidak baik, sebagaimana Budi dan kawan-kawannya mengakali hal ini saat mereka berkumpul, “Saya dan teman-teman saya suka kesel kalo ada temen yang lagi nongkrong tapi malah main hp sendiri.” Namun Budi yang masih berkuliah di salah satu universitas di Jakarta ini memiliki cara sendiri untuk mengatasinya “Jadi saya dan teman-teman saya kalo lagi nongkrong akhirnya bawa-bawa wadah buat ngumpulin hp, jadi gak ada yang maenan hp sendiri-sendiri hahaha.” Ujarnya sambil tertawa.



Budi dan teman-temannya sedang berkumpul bersama di suatu tempat makan di bilangan Jakarta Selatan dan membawa tempat untuk mengumpulkan handphone sehingga menarik perhatian saya. Tanpa handphone masing-masing saya lihat Budi dan kawan-kawannya lebih menikmati kebersamaan mereka. Persahabatan memang lebih indah saat sedang bersama-sama.
Selain Budi dan teman-temannya, saya sempat melihat di Instagram sebuah kafe di luar negeri yang menyadari tentang kurang baiknya generasi menunduk ini. Mereka memang tidak menyediakan wi-fi agar orang-orang yang datang dapat berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya.

Berdasarkan penelitian Dosen Psikologi Sosial Universitas Indonesia (UI), Bapak Eko Aditia Meinamo, S.Psi,, orang-orang dalam generasi menunduk ini terkena Phantom Vibration Syndrom. Sindrom ini biasanya ditandai dengan merasa seperti ada getaran dari gadget padahal tidak ada apa-apa. “Orang-orang yang terkena Phantom Vibration Syndrom ini biasanya sering melihat gadget nya karena merasa ada getaran dari gadget nya tersebut.” Ujar dosen muda ini. “Sindrom ini terjadi karena halusinasi sensor yang masih melekat pada tubuh atau fungsi bawah sadar otak.” Tambahnya.
Sedangkan menurut survey yang dilakukan terhadap 250 responden oleh University of Chicago, orang-orang yang telah memiliki ketergantungan akan dunia maya akan melihat gadget nya sebanyak 100 sampai dengan 200 kali dalam sehari. Jumlah tersebut merupakan jumlah minimal dari survey tersebut yang mana mereka tidak mempublikasikan berapa jumlah maksimalnya. Penelitian yang sama juga menyimpulkan bahwa orang-orang yang terus menunduk ini memiliki tingkat ketergantungan yang parah. Bahkan menurut penelitian yang sama, kecanduan gadget ini jauh lebih sulit untuk disembuhkan disbanding alkohol dan rokok. Waduh!
Parahnya generasi menunduk ini terkadang juga membuat kesal generasi yang lebih tua. Mereka yang dibesarkan pada era dimana kebersamaan saat bersarapan dan makan malam bersama untuk menceritakan aktifitas sehari-hari. Memang sarapan dan makan malam bersama masih ada sampai sekarang, akan tetapi alih-alih menceritakan aktifitas lagi-lagi gadget menggantikan obrolan.
Salah seorang teman saya yang bernama Anisa pernah menceritakan suasana di ruang makannya. Saat itu ia dan orang tua dan adik-adiknya sudah berada di meja makan untuk santap makan malam. Semua orang asyik dengan gadget masing-masing. “Ayah saya tiba-tiba menggebrak meja makan, beliau marah-marah karena kami semua asyik dengan gadget masing-masing.” Ujar dara cantik asli betawi ini. “Beliau marah-marah karena saat makan malam seharusnya dipakai untuk berkumpul bersama keluarga, bukan untuk asyik sendiri-sendiri.”
Sebagaimana Albert Einstein pernah berkata “I fear the day that technology will surpass our humanity and human interaction. The world will have the worst generation, a generation of idiots.” Rasanya hari yang ditakutkan oleh Einstein telah tiba. Hari dimana kebebasan semu telah 
merenggut kemanusiaan. Kemanusiaan telah tergantikan oleh mesin, hidup manusia juga telah menjadi jenerik dan kaku seperti mesin. Segala sesuatunya tergantung akan teknologi yang diciptakan seakan untuk menguasai manusia.
Bayangkan saja, jika bagi mereka yang sudah terkena suatu sindrom gadget tersebut pasti akan rela untuk menghabiskan sebagian besar waktu yang produktifnya itu dengan menyibukkan diri untuk bermain gadget. Hampir sebagian besar di setiap aktivitas mereka selalu tidak pernah bisa untuk terlepas dari gadget mereka. Dari mulai mereka bangun pagi hingga menjelang tidur malam hari, gadget akan selalu berada didalam genggaman tangan.

Rabu, 26 Oktober 2016

Thailand Bistro and Bar: Mango Tree Bistrobar


Pertama kali saya mendengar mengenai sebuah bistro bernuansa Thailand dari seorang teman, saya sangat tertarik. Selama ini bistro yang saya tahu mengandalkan western food seperti American bistro atau European bistro, kalaupun ada bistro bernuansa Asia pun lebih ke Chinese atau Japanese. Dengan menerapkan konsep Thailand bistro, restoran bernama Mango Tree Bistrobar yang berada di Plaza Epicentrum kuningan ini telah sukses membangkitkan rasa penasaran dan keinginan saya untuk berkunjung kesana.
Pertama kali saya memasuki tempat Mango Tree Bistrobar ini, saya langsung mendapatkan nuansa khas bistro namun dengan dekorasi ornamen-ornamen khas Thailand. Untuk menjaga kenyamanan pengunjungnya, Mango Tree Bistrobar menyediakan dua jenis ruangan yaitu: smoking area yang berada di bagian luar belakang restoran dan non-smoking area yang berada di bagian dalam. Diciptakannya dua ruangan terpisah ini demi mengakomodasi jenis costumer, dimana ada customer yang merokok dan ada customer yang tidak merokok.
Saat memasuki Mango Tree Bistrobar melalui bagian dalam Plaza Epicentrum, saya langsung disambut dengan baik. Terdapat bar dibagian dalam ruangan dan sebenarnya tidak ada yang terlalu spesial dari design interior nya selain ornamen-ornamen khas Thailand nya. Setelah masuk saya ditanya apakah saya bersedia untuk ditemparkan di smoking area karena bagian dalam sudah penuh. Karena saya sudah sangat penasaran dengan sajian yang dihidangkan disini, saya pun tidak keberatan.
Bagian luar Mango Tree Bistrobar terlihat lebih menarik untuk saya. Dengan pencahayaan sedikit dibuat gelap dan lilin-lilin yang dinyalakan untuk membantu penerangan, saya rasa bagian luar dapat menjadi sebuah tempat kencan menarik dengan pasangan. Terdapat dua jenis tempat duduk dan meja yang disediakan, yang pertama adalah tempat duduk dan meja normal yang diperuntukkan bagi tamu yang datang hanya berdua, sedangkan yang satu lagi adalah sofa dengan meja santai untuk tamu yang datang beramai-ramai.




Setelah mendapat tempat duduk, saya mulai memilih sajian untuk dipesan. Untuk makanan, saya memesan: Tom Yum Chicken Wing (seharga Rp. 43.000) dan Grilled Chicken Thigh with Lemongrass (seharga Rp. 68.000) dan Thai Tea untuk minumannya. Teman yang datang bersama saya memesan Shrimp Pad Thai (seharga Rp. 72.000) dan Thai Spring Roll (seharga Rp. 39.000) serta memesan Iced Chocolate untuk minumannya.
Setelah memesan makanan, kami mendapat complimentary snacks berupa fish crackers yang disajikan dengan sejenis saus yang mirip seperti sambal. Walaupun pedas, namun rasa asam yang terdapat pada saus tersebut dan rasa gurih ikan dari fish crackers nya menciptakan kombinasi rasa yang menyenangkan mulut. Setelah makanan kami disajikan, kami langsung bersiap menyantapnya.
Tom Yum Chicken Wing memiliki rasa yang unik karena memadukan pedas asam manis ala Tom Yum dengan pedas gurih milik Chicken Wing. Porsinya yang tidak terlalu banyak juga cocok untuk menjadikannya sebagai appetizer. Saya juga sempat mencoba Thai Spring Roll milik teman saya yang disajikan dengan saus asam manis. Setelah puas dengan appetizer saya mulai beralih ke main course. Grilled Chicken Thigh with Lemongrass yang saya pesan tidak disajikan dengan nasi sehingga apabila anda ingin menyantapnya dengan nasi anda dapat memesannya secara terpisah. Grilled Chicken Thigh with Lemongrass memiliki cita rasa yang unik karena memadukan rasa khas lemongrass dengan saus jim jaew yang pedas.


Setelah selesai, saya menanyakan kepada salah seorang pegawai Mango Tree Bistrobar mengenai Mango Tree Bistrobar.
Irene Gardenia (IG)    : Selamat malam kak
Mango Tree (MTB)     : Malam kak
IG        : Kalau boleh tahu, sudah berapa lama Mango Tree Bistrobar berdiri?
MTB    : Oh, kami sudah buka sekitar empat atau lima tahun kak
IG        : Bagaimana awalnya Mango Tree Bistrobar berdiri?
MTB    : Mango Tree Bistrobar adalah sebuah franchise yang sudah tersebar di 68 negara
IG        : Selain di Epicentrum ini, apakah ada Mango Tree Bistrobar di Indonesia lainnya?
MTB    : Untuk saat ini Mango Tree Bistrobar sudah ada juga di Plaza Senayan
IG        : Terima kasih kak
MTB    : Sama-sama
Setelah melakukan pembayaran saya pun bergegas pulang. Menyantap masakan yang enak dengan harga yang masih terjangkau merupakan kesenangan tersendiri. Cukup menyiapkan dana sekitar Rp. 300.000 untuk makan berdua tentu tidak mahal untuk mengajak pasangan menikmati romantic dinner disini. Selain itu tempatnya yang cozy juga membuat Mango Tree Bistrobar tempat hangout yang asik bersama dengan teman-teman

Kamis, 20 Oktober 2016

Sejarah Gerakan 30 September 1965


Sebelum peristiwa 30S PKI terjadi, Partai Komunis Indonesia sempat tercatat sebahgai Partai Komunis terbesar di dunia tanpa harus dengan menghitung beberapa partai komunis yang tersebar di Uni Soviet dan Tiongkok.
Semenjak dilakukannya audit  pada tahun 1965, hampir lebih dari 3,5 juta pengguna aktif yang bernaung dalam partai ini. Hitungan itupun belum termasuk dengan 3 juta jiwa yang menjadi kader dalam anggota pergerakan pemuda.
Disisi lain, PKI juga memiliki hak kontrol secara penuh terhadap pergerakan buruh, kurang lebih 3,5 juta orang lagi telah ada di bawah pengaruhnya. Belum sampai disitu, masih ada 9 juta anggota lagi yang terdiri dari gerakan petani dan beberapa gerakan lain, misal pergerakan wanita, pergerakan sarjana dan beberapa organisasi penulis yang apabila dijumlahkan bisa mencapai angka 20 juta anggota beserta para pendukungnya.
Masyarakat curiga karena adanya isu yang menyatakan bahwa PKI adalah dalang dibalik terjadinya peristiwa 30 September yang bermula dari kejadian di bulan Juli 1959, yang mana pada saat itu parlemen sedang di bubarkan dan Soekarno sendiri justru menetapkan bahwa konstitusi harus berada di bawah dekrit presiden.
PKI berdiri dibelakang dukungan penuh dekrit presiden Soekarno. Sistem Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan oleh Soekarno juga disambut denngan gembira oleh PKI.   Karena dengan adanya sistem ini PKI diyakini mampu menciptakan sebuah persekutuan konsepsi Nasionalis, Agama dan Komunis yang kemudian disingkat dengan NASAKOM.
Peristiwa G30S PKI bermula pada tanggal 1 Oktober. Dimulai dengan kasus penculikan 7 jendral yang terdiri dari anggota staff tentara oleh sekelompok pasukan yang bergerak dari Lapangan Udara menuju Jakarta daerah selatan. Tiga dari tujuh jenderal tersebut diantaranya telah dibunuh di rumah mereka masing-masing, yakni Ahmad Yani, M.T. Haryono dan D.I. Panjaitan.
Sementara itu ketiga target lainya yaitu Soeprapto, S.Parman dan Sutoyo ditangkap secara hidup-hidup. Abdul Harris Nasution yang menjadi target utama kelompok pasukan tersebut, berhasil kabur setelah berusaha untuk melompati dinding batas kedubes Irak.
Meskipun begitu, Pierre Tendean beserta anak gadisnya. Ade Irma S. Nasution ditangkap tertembak tewas pada 6 Oktober oleh regu sergap. Korban tewas semakin bertambah disaat regu penculik menembak serta membunuh seorang polisi penjaga rumah tetangga Nasution. Abert Naiborhu menjadi korban terakhir dalam kejadian ini. Mayat Jenderal yang masih hidup dibunuh dan dibuang di Lubang Buaya tepat sebelah markas tersebut.
Sekitar 2.000 pasukan diterjunkan untuk menduduki sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Lapangan Merdeka, Monas.  Walaupun mereka belum berhasil mengamankan bagian timur dari area ini. Sebab saat itu merupakan daerah dari Markas KOSTRAD pimpinan Soeharto.
Jam 7 pagi, Radio Republik Indonesia (RRI) menyiarkan sebuah pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, Komandan Cakrabiwa bahwa G30 S PKI telah berhasil diambil alih di beberapa lokasi stratergis Jakarta beserta anggota militer lainnya. Mereka bersikeras bahwa gerakan tersebut sebenarnya didukung oleh CIA yang bertujuan untuk melengserkan Soekarno dari posisinya.
Tinta kegagalan tertulis dalam sejarah peristiwa G30S/PKI karena mereka melewatkan Soeharto yang mereka kira bujan seorang tokoh politik. Salah seorang tentangga beliau memberi tahu pada Soeharto tentang hilangnya para Jenderal serta penembakan yang terjadi pada jam setengah 6 pagi. Mendengar berita tersebut, Soeharto pun segera bergerak ke Markas KOSTRAD dan menghubungi anggota angkatan laut dan polisi.
Soeharto juga berhasil membujuk dua dari batalion pasukan kudeta untuk menyerah. Dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke dalam area markas KOSTRAD. Kemudian disusul dengan pasukan Diponegoro yang kabur menuju Halim Perdana Kusuma.
Kudeta ini juga gagal dikarenakan perencanaan yang kirang matang. Sehingga kondisi ini menyebabkan para tentara yang berada di Lapangan Merdeka  kehausan akan impresi  mereka untuk melindungi Presiden di Istana.

Sir Thomas Stamford Raffles, Penemu Candi Borobudur


Sir Thomas Stamford Raffles menangis ketika harus angkat kaki dari tanah Jawa. Mau tak mau Raffles harus patuh pada Konvensi London, 13 Agustus 1814; Inggris harus mengembalikan Jawa ke Belanda. Konvensi London diteken ketika Raffles, “orang nomor satu” di Jawa semasa pulau ini dikuasai Inggris (1811-1816), baru saja menemukan (kembali) Candi Borobudur.
Raffles sedang berada di Semarang pada tahun 1814 ketika diberitahu ada “bukit aneh” di dekat Magelang. Ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Raffles yang juga menjabat Presiden Masyarakat Ilmu dan Budaya Batavia, lantas mengutus H.C. Cornelius untuk meneliti bukit yang dipenuhi semak belukar tersebut.
Merujuk laporan Cornelius, setidaknya ada 200 orang penduduk desa dipekerjakan untuk membersihkan bukit Borobudur.  Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Apa mau dikata, belum beres urusannya dengan candi raksasa itu, Raffles, si pendiri Museum Ethnografi Batavia (kini Museum Nasional/Museum Gajah) harus meninggalkan Jawa. Tapi, pria kelahiran 6 Juli 1781 ini tak pergi dengan tangan kosong. “Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya punya,” tulis  Raffles dalam bukunya The History of Java. Dan memang, buku setebal bantal yang pertama terbit pada 1817 tersebut, kemudian hari dipuja-puji para peneliti dan dijadikan satu di antara rujukan utama sejarah Jawa.
Penamaan Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro). Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro-purba".
Dalam buku itu, Raffles menulis Candi Borobudur dengan kata Boro Bodo. Di samping menggambarkan bentuk candi, dia juga mengakui menemukan sebuah harpa batu di sana. Sosok harpa diambil dari Candi Boro Bodo dan dibawa ke Inggris. Berupa batu, panjangnya sekitar 20 inci, dan dikerjakan dengan sangat baik.
 Sejarah Pulau Jawa (The History of Java) adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan diterbitkan pada tahun 1817. Dalam buku ini, Raffles yang memerintah sebagai Gubernur-Jendral di Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat, keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama yang ada di pulau Jawa pada waktu itu.


Pendapat seorang Raffles tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik Jepara pada tahun 1812. 

Kehidupan Mahasiswa

Mahasiswa adalah agen perubahan, masa depan bangsa, dan cermin sebuah system pada suatu bangsa. Sebagai seorang mahasiswa, saat ini saya sadar bahwa banyak sekali julukan mahasiswa dan beban yang kami pikul. Terkadang saya berpikir, apakah saya sudah menjadi mahasiswa yang baik? Apa yang sudah saya lakukan selama menjadi mahasiswa? Apa yang akan saya lakukan setelah nanti tidak menyandang status mahasiswa lagi nantinya.



Sebagai seorang mahasiswa yang telah sukses melewati tahun pertama dan sudah tidak menyandang status “mahasiswa baru” lagi, terkadang banyak hal yang berkecamuk dipikiran saya. Setelah lepas dari status “mahasiswa baru” beberapa pikiran mulai muncul dikepala saya, sejalan dengan semakin dekatnya saya dengan kehidupan nyata (dimana sebagian besar orang mengatakan bahwa kehidupan nyata dimulai saat anda lulus kuliah). Sebagaimana kebanyakan mahasiswa, saya mulai memikirkan eksistensi saya didunia ini. Berapa banyak orang yang akan bersuka cita dengan saya di hari pernikahan saya? Berapa banyak orang yang akan datang dan berduka untuk saya pada hari dimana saya dimakamkan? Apakah seluruh keluarga saya akan datang disana? Apakah tanpa saya dunia akan berputar begitu saja? Apakah eksistensi saya hanya bagaikan debu dua dimensi yang beterbangan pada realitas tiga dimensi?

Saya rasa hampir semua orang yang pernah menyandang status mahasiswa dan merasa bahwa dirinya hidup pernah memikirkan hal tersebut. Karena menurut saya manusia yang tidak pernah mempertanyakan eksistensinya adalah manusia yang “tidak hidup” hanya sekedar “tidak mati”. Menurut saya sendiri terdapat perbedaan antara orang yang “hidup” dengan orang yang hanya “sekedar tidak mati”
.
Sebagai seseorang yang memiliki pribadi ”free sprit” saya sering heran apabila masyarakat luas merasa bahwa saya sama sekali tidak memikirkan apapun. Pada kenyataannya, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apa yang akan saya lakukan setelah saya lulus? Hal ini cukup sering mengganggu tidur saya. Apakah saya akan melanjutkan pendidikan saya? Apakah saya akan langsung bekerja? Apakah saya akan mengejar mimpi saya?

Sebenarnya banyak orang yang memiliki pemikiran seperti saya. Istilah ini dikenal dengan istilah early twenty’s crisis, sebuah fase kehidupan dimana terjadi proses transisi masa remaja ke usia puluhan. Disinilah saat dimana saya semua pikiran itu berkecamuk dikepala saya dan mengganggu tidur dimalam hari.

Menjadi dewasa bukanlah pilihan dan saya merasa bahwa untuk bertumbuh dewasa membutuhkan mental yang sangat kuat. Sejujurnya saya belum siap untuk dewasa, terlalu cepat waktu berlalu rasanya. Terkadang saya masih mengingat cita-cita masa kecil untuk menjadi dokter atau astronot. Terkadang ingatan saat pertama kali memenangkan lomba bernyanyi atau lomba menari masih lekat didalam ingatan saya.



Menjadi dewasa membutuhkan tanggung jawab yang besar. Saya meragukan diri saya dapat mengemban tanggung jawab tersebut. Bukan berarti saya bukan orang yang tidak bertanggung jawab, namun tanggung jawab yang harus ditanggung orang dewasa jauh lebih besar dari yang pernah saya tahu. Banyak dari kita yang dulu tidak sabar ingin menjadi dewasa, akan tetapi sekarang saya selalu bertanya kepada diri sendiri: apakah kita benar-benar ingin tumbuh dewasa? Karena menurut saya masa kecil merupakan anugerah terindah yang Tuhan untuk saya dan saya merasa belum siap untuk tumbuh dewasa. Waktu berjalan begitu cepat dan tidak terasa bahwa menjadi dewasa terkadang sangat menakutkan. Bisa dibilang ketakutan terbesar saya saat ini adalah menjadi dewasa.

Rabu, 19 Oktober 2016

Tentang Saya

Nama saya adalah Irene Gardenia, namun biasa dipanggil Irene oleh orang-orang terdekat. Saat ini saya berstatus sebagai mahasiswa di London School of Public Relation. Saya memilih untuk melanjutkan pendidikan di London School karena saya sangat suka berinteraksi dengan banyak orang. Sejak kecil saya sudah terbiasa berkomunikasi dengan orang baru dan saya menyukainya.

Disela-sela kesibukan sebagai seorang mahasiswa, sebenarnya saya memiliki beberapa hobi yang saya kerjakan di kala waktu senggang. Hobi saya yang paling utama adalah menyanyi, selain itu saya juga suka travelling, menari, menulis puisi, dan membaca novel serta menonton film. Akan tetapi dengan padatnya kesibukan saya, tidak semua hobi tersebut dapat saya kerjakan secara rutin.

Sebagai seseorang yang memiliki hobi menyanyi, saya seringkali berharap bahwa hobi saya ini dapat menjadi profesi saya nantinya. Untuk mewujudkan mimpi tersebut, saya pernah membuat band dengan teman-teman saya waktu SMA. Selain itu saya juga kerap mengikuti acara-acara yang biasa diselenggarakan oleh pihak sekolah saya sewaktu saya masih berada di SMA. Walaupun untuk menjadi penyanyi professional tidaklah mudah, akan tetapi dengan bakat dan passion yang saya miliki saya yakin suatu saat nanti saya dapat menjadi penyanyi professional. Penyanyi yang menjadi inspirasi saya adalah Christina Aguilera karena ia memiliki teknik vocal yang luar biasa dan sulit untuk diikuti.

Sewaktu masih kecil saya sangat suka menari, bahkan sempat beberapa kali mengikuti beberapa lomba menari. Sebagaimana suatu perlombaan, terkadang saya mendapatkan gelar juara, namun terkadang saya juga harus mengakui keunggulan saingan-saingan saya yang lainnya. Saat itu sebagaimana anak perempuan pada umumnya, saya sangat ingin menjadi penari professional.

Selain menari dan menyanyi, hal yang dapat menghibur saya disela-sela kesibukan adalah membaca buku dan menonton film. Saya sangat menyukai film komedi romantis seperti 500 Days of Summer, The Notebook, 50 First Date, P.S. I Love You, Eiffel I’m In Love, Ada Apa Dengan Cinta, dan lain-lain. Untuk buku sendiri tidak jauh berbeda dengan film-film yang saya konsumsi. Buku-buku karya Cecilia Ahern atau Nicholas Sparks menjadi konsumsi favorit saya. Untuk sejenak, saya sempat berpikir untuk mencoba menulis sendiri. Saya sempat membuat blog untuk menuangkan karya-karya tulisan saya. Setelah beberapa saat saya menyadari bahwa karya fiksi bukanlah keahlian utama saya, sehingga saya memfokuskan diri untuk mulai menulis lirik lagu dan puisi.


Memasuki masa kuliah saya mulai menyukai travelling. Saya suka mengunjungi tempat-tempat baru, berkenalan dengan orang-orang baru, mempelajari budaya baru, dan mengetahui hal-hal baru yang mungkin tidak terdapat di internet sehingga saya baru mengetahui nya dari petualangan baru saya. Hal yang paling saya sukai dari travelling adalah petualangan yang terdapat didalamnya. Sebagai pribadi yang free spirit terkadang saya menyukai kondisi dimana saya tidak mengetahui apa yang akan saya lakukan besok dalam petualangan saya. Saya juga suka saat saya tidak merencanakan kemana saya akan berpetualang selanjutnya. Karena menurut saya hidup sendiri adalah sebuah petualangan, terkadang kita merencanakan sesuatu sedemikian rupa namun ternyata kenyataan berkata lain. Banyak hal yang saya lakukan dalam petualangan saya merefleksikan kehidupan. Berpetualang adalah tentang menemukan sesuatu yang baru setiap harinya dan hidup adalah tentang menemukan pengalaman yang baru setiap harinya. Menurut saya melakukan hal yang sama selama 30 tahun bukanlah hidup selama 30 tahun.