Kamis, 20 Oktober 2016

Kehidupan Mahasiswa

Mahasiswa adalah agen perubahan, masa depan bangsa, dan cermin sebuah system pada suatu bangsa. Sebagai seorang mahasiswa, saat ini saya sadar bahwa banyak sekali julukan mahasiswa dan beban yang kami pikul. Terkadang saya berpikir, apakah saya sudah menjadi mahasiswa yang baik? Apa yang sudah saya lakukan selama menjadi mahasiswa? Apa yang akan saya lakukan setelah nanti tidak menyandang status mahasiswa lagi nantinya.



Sebagai seorang mahasiswa yang telah sukses melewati tahun pertama dan sudah tidak menyandang status “mahasiswa baru” lagi, terkadang banyak hal yang berkecamuk dipikiran saya. Setelah lepas dari status “mahasiswa baru” beberapa pikiran mulai muncul dikepala saya, sejalan dengan semakin dekatnya saya dengan kehidupan nyata (dimana sebagian besar orang mengatakan bahwa kehidupan nyata dimulai saat anda lulus kuliah). Sebagaimana kebanyakan mahasiswa, saya mulai memikirkan eksistensi saya didunia ini. Berapa banyak orang yang akan bersuka cita dengan saya di hari pernikahan saya? Berapa banyak orang yang akan datang dan berduka untuk saya pada hari dimana saya dimakamkan? Apakah seluruh keluarga saya akan datang disana? Apakah tanpa saya dunia akan berputar begitu saja? Apakah eksistensi saya hanya bagaikan debu dua dimensi yang beterbangan pada realitas tiga dimensi?

Saya rasa hampir semua orang yang pernah menyandang status mahasiswa dan merasa bahwa dirinya hidup pernah memikirkan hal tersebut. Karena menurut saya manusia yang tidak pernah mempertanyakan eksistensinya adalah manusia yang “tidak hidup” hanya sekedar “tidak mati”. Menurut saya sendiri terdapat perbedaan antara orang yang “hidup” dengan orang yang hanya “sekedar tidak mati”
.
Sebagai seseorang yang memiliki pribadi ”free sprit” saya sering heran apabila masyarakat luas merasa bahwa saya sama sekali tidak memikirkan apapun. Pada kenyataannya, saya sering bertanya kepada diri sendiri, apa yang akan saya lakukan setelah saya lulus? Hal ini cukup sering mengganggu tidur saya. Apakah saya akan melanjutkan pendidikan saya? Apakah saya akan langsung bekerja? Apakah saya akan mengejar mimpi saya?

Sebenarnya banyak orang yang memiliki pemikiran seperti saya. Istilah ini dikenal dengan istilah early twenty’s crisis, sebuah fase kehidupan dimana terjadi proses transisi masa remaja ke usia puluhan. Disinilah saat dimana saya semua pikiran itu berkecamuk dikepala saya dan mengganggu tidur dimalam hari.

Menjadi dewasa bukanlah pilihan dan saya merasa bahwa untuk bertumbuh dewasa membutuhkan mental yang sangat kuat. Sejujurnya saya belum siap untuk dewasa, terlalu cepat waktu berlalu rasanya. Terkadang saya masih mengingat cita-cita masa kecil untuk menjadi dokter atau astronot. Terkadang ingatan saat pertama kali memenangkan lomba bernyanyi atau lomba menari masih lekat didalam ingatan saya.



Menjadi dewasa membutuhkan tanggung jawab yang besar. Saya meragukan diri saya dapat mengemban tanggung jawab tersebut. Bukan berarti saya bukan orang yang tidak bertanggung jawab, namun tanggung jawab yang harus ditanggung orang dewasa jauh lebih besar dari yang pernah saya tahu. Banyak dari kita yang dulu tidak sabar ingin menjadi dewasa, akan tetapi sekarang saya selalu bertanya kepada diri sendiri: apakah kita benar-benar ingin tumbuh dewasa? Karena menurut saya masa kecil merupakan anugerah terindah yang Tuhan untuk saya dan saya merasa belum siap untuk tumbuh dewasa. Waktu berjalan begitu cepat dan tidak terasa bahwa menjadi dewasa terkadang sangat menakutkan. Bisa dibilang ketakutan terbesar saya saat ini adalah menjadi dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar