Sir Thomas
Stamford Raffles menangis ketika harus angkat kaki dari tanah Jawa. Mau tak mau
Raffles harus patuh pada Konvensi London, 13 Agustus 1814; Inggris harus
mengembalikan Jawa ke Belanda. Konvensi London diteken ketika Raffles, “orang
nomor satu” di Jawa semasa pulau ini dikuasai Inggris (1811-1816), baru saja
menemukan (kembali) Candi Borobudur.
Raffles sedang
berada di Semarang pada tahun 1814 ketika diberitahu ada “bukit aneh” di dekat
Magelang. Ia memiliki minat istimewa terhadap
sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian
Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang
dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya
keliling Jawa. Raffles yang juga menjabat Presiden Masyarakat Ilmu dan
Budaya Batavia, lantas mengutus H.C. Cornelius untuk meneliti bukit yang
dipenuhi semak belukar tersebut.
Merujuk laporan
Cornelius, setidaknya ada 200 orang penduduk desa dipekerjakan untuk
membersihkan bukit Borobudur. Dalam
dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak
belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang
mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan
membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
Apa mau
dikata, belum beres urusannya dengan candi raksasa itu, Raffles, si pendiri
Museum Ethnografi Batavia (kini Museum Nasional/Museum Gajah) harus
meninggalkan Jawa. Tapi, pria kelahiran 6 Juli 1781 ini tak pergi dengan tangan
kosong. “Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa
sebanyak yang saya punya,” tulis Raffles dalam bukunya The History of
Java. Dan memang, buku setebal bantal yang pertama terbit pada 1817 tersebut,
kemudian hari dipuja-puji para peneliti dan dijadikan satu di antara rujukan
utama sejarah Jawa.
Penamaan Borobudur pertama kali ditulis dalam buku
"Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Nama Bore-Budur, yang
kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa
Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro).
Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah
Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna,
"Boro-purba".
Dalam buku
itu, Raffles menulis Candi Borobudur dengan kata Boro Bodo. Di samping
menggambarkan bentuk candi, dia juga mengakui menemukan sebuah harpa batu di
sana. Sosok harpa diambil dari Candi Boro Bodo dan dibawa ke Inggris. Berupa
batu, panjangnya sekitar 20 inci, dan dikerjakan dengan sangat baik.
Pendapat
seorang Raffles tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda,
Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang
orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya
dicitrakan kolonial Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap
orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick
dari Distrik Jepara pada tahun 1812.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar