Kamis, 20 Oktober 2016

Sir Thomas Stamford Raffles, Penemu Candi Borobudur


Sir Thomas Stamford Raffles menangis ketika harus angkat kaki dari tanah Jawa. Mau tak mau Raffles harus patuh pada Konvensi London, 13 Agustus 1814; Inggris harus mengembalikan Jawa ke Belanda. Konvensi London diteken ketika Raffles, “orang nomor satu” di Jawa semasa pulau ini dikuasai Inggris (1811-1816), baru saja menemukan (kembali) Candi Borobudur.
Raffles sedang berada di Semarang pada tahun 1814 ketika diberitahu ada “bukit aneh” di dekat Magelang. Ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia mengumpulkan artefak-artefak antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam perjalanannya keliling Jawa. Raffles yang juga menjabat Presiden Masyarakat Ilmu dan Budaya Batavia, lantas mengutus H.C. Cornelius untuk meneliti bukit yang dipenuhi semak belukar tersebut.
Merujuk laporan Cornelius, setidaknya ada 200 orang penduduk desa dipekerjakan untuk membersihkan bukit Borobudur.  Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah hilang ini.
Apa mau dikata, belum beres urusannya dengan candi raksasa itu, Raffles, si pendiri Museum Ethnografi Batavia (kini Museum Nasional/Museum Gajah) harus meninggalkan Jawa. Tapi, pria kelahiran 6 Juli 1781 ini tak pergi dengan tangan kosong. “Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya punya,” tulis  Raffles dalam bukunya The History of Java. Dan memang, buku setebal bantal yang pertama terbit pada 1817 tersebut, kemudian hari dipuja-puji para peneliti dan dijadikan satu di antara rujukan utama sejarah Jawa.
Penamaan Borobudur pertama kali ditulis dalam buku "Sejarah Pulau Jawa" karya Sir Thomas Raffles. Nama Bore-Budur, yang kemudian ditulis BoroBudur, kemungkinan ditulis Raffles dalam tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa Bore (Boro). Raffles juga menduga bahwa istilah 'Budur' mungkin berkaitan dengan istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba" maka bermakna, "Boro-purba".
Dalam buku itu, Raffles menulis Candi Borobudur dengan kata Boro Bodo. Di samping menggambarkan bentuk candi, dia juga mengakui menemukan sebuah harpa batu di sana. Sosok harpa diambil dari Candi Boro Bodo dan dibawa ke Inggris. Berupa batu, panjangnya sekitar 20 inci, dan dikerjakan dengan sangat baik.
 Sejarah Pulau Jawa (The History of Java) adalah buku yang dikarang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dan diterbitkan pada tahun 1817. Dalam buku ini, Raffles yang memerintah sebagai Gubernur-Jendral di Hindia-Belanda dari tahun 1811-1816 menuliskan mengenai keadaan penduduk di pulau Jawa, adat-istiadat, keadaan geografi, sistem pertanian, sistem perdagangan, bahasa dan agama yang ada di pulau Jawa pada waktu itu.


Pendapat seorang Raffles tentang karakter orang Jawa. Berbeda dengan orang Belanda, Raffles melihat orang Jawa secara positif. Tidak ada lagi propaganda tentang orang Jawa yang malas, pemarah, dan pembohong sebagaimana yang biasanya dicitrakan kolonial Belanda. Mengenai pandangan orang-orang Belanda terhadap orang Jawa dapat dilihat pada catatan resmi yang diberikan oleh Residen Dornick dari Distrik Jepara pada tahun 1812. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar